Mau Berwakaf | Pendidikan | Dakwah | Sosial | Pemberdayaan Ekonomi
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jumat, 03 November 2017

Ketimbang 'Nganggur', Dana Wakaf Bisa Untuk Infrastruktur

Potensi wakaf uang menurut hitung-hitungan BWI, jika dikelola dengan baik bisa sampai Rp120 triliun tiap tahun, itu minimal!

Seorang muslimah berkonsultasi soal wakaf. (daaruttauhiid.org)


Dititipi harta benda merupakan berkah tersendiri bagi manusia. Bukan hanya kebutuhan hidup di dunia terpenuhi, lebih lagi harta titipan itu bisa jadi sarana beribadah.
Ya, ibadah maliyah adalah ibadah yang diwujudkan dalam bentuk pemberian harta untuk kebaikan umat. Bentuknya bisa bermacam-macam. Ada yang menyisihkan sebagian penghasilannya untuk zakat, infaq, sedekah, fidiyah, kafarat, kurban, aqiqah sampai dam (denda). Tapi ada juga yang lebih spesifik yaitu wakaf.
Sekadar mengingatkan, Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang untuk memisahkan dan menyerahkan sebagian harga benda miliknya untuk keperluan ibadah atau untuk kesejahteraan umum sesuai Syariah. Penyerahan ini bisa berlaku selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya.
Wakaf sendiri merupakan ibadah maliyah yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Harta benda yang diwakafkan, nilai dari wakafnya tetap, namun hasil dari pengelolaan (investasi) wakaf selalu memberikan manfaat untuk umat dari waktu ke waktu.
Dalam fungsinya sebagai ibadah, wakaf akan mengalirkan pahala terus-menerus sepanjang harta wakaf itu dimanfaatkan untuk kepentingan umum atau kepentingan umat. Sedangkan ditinjau dari fungsi sosialnya, wakaf dapat menjadi jalan bagi pemerataan kesejahteraan di kalangan umat, bahkan bisa membantu menanggulangi kemiskinan jika dikelola dengan baik.
Sayang beribu sayang, fungsi Wakaf untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat masih belum tergarap optimal. Padahal, sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, potensi dana wakaf sangat besar, jauh melebihi dana haji yang belakangan menjadi polemik lantaran ingin digunakan pemerintah sebagai instrumen investasi di sektor infrastruktur.
Coba saja tengok soal wakaf berupa aset seperti tanah dan bangunan. “Untuk tanah saja yang terdata, belum (termasuk) yang tidak terdata ya, jumlahnya sudah 4.000 km persegi, atau hampir 6 kali lipat luas Singapura,” ujar Irfan Syauqi Beik, Direktur Pusat Kajian Strategis BAZNAS dan Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah - CIBEST IPB kepada Validnews, Selasa (22/8).
Jumlah ini pun terus meningkat. Pada tahun 2008 misalnya, menurut data yang dihimpun Badan Wakaf Indonesia (BWI), jumlah tanah wakaf di Indonesia,mencapai 268.65 ha atau 2.686,5 km persegi. Tanah ini tersebar di 366.595 lokasi di Indonesia.
Berdasarkan data dari kementrian agama bidang pemberdayaan wakaf (per 18 Maret 2016), potensi tanah wakaf di Indonesia sebesar 3,7 miliar m2 dengan potensi ekonomi sebesar Rp370 triliun. Selain itu, berdasarkan identifikasi Bank Indonesia tahun 2016, luas tanah wakaf di Indonesia adalah 4.359.443.170 m2 terdiri dari 435.768 lokasi dengan rincian 287.160 lokasi bersertifikat dan 148.608 lokasi belum bersertifikat.
Sayangnya, hampir semua tanah yang diwakafkan tidak dimanfaatkan lebih jauh untuk mendatangkan nilai ekonomi lebih bagi umat. “Wakaf aset, 90% masih idle belum dimanfaatkan,” seru Irfan.


Agustianto, Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Syariah menyebutkan hal serupa. Menurutnya, asset-aset tersebut sejatinya dapat digunakan untuk sebuah kegiatan ekonomi yang akan meningkatkan kesejahteraan umat, seperti tujuan wakaf.
“Sebagian besar berupa tanah kuburan sama Masjid. Harusnya wakaf itu dalam bentuk gedung, tower berlantai 55 misalnya. Nantinya digunakan untuk memberikan beasiswa kepada orang-orang yang mau belajar teknologi ke luar negeri, atau belajar apapunlah, termasuk agama juga dipelajari, nah itu bisa didanai dari wakaf,” ujarnya kepada Validnews.
Menurut Agustianto, aset yang telah diwakafkan memiliki potensi ekonomi yang besar. Ada kegiatan ekonomi yang bisa dilakukan menggunakan aset yang telah diwakafkan. Ia mencontohkan, di beberapa negara seperti Aljazair, Iran, Mesir dan Palestina, sebagian orang tidak hanya mewakafkan lahan yang akan digunakan untuk makam maupun tempat ibadah, tapi orang juga mewakafkan lahan pertanian.
Lahan itu kemudian dikelola, hasilnya bisa digunakan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang tak berpunya. “Seperti dulu rumah sakit gratis, sekarang rumah sakit bayar. Pemerintah juga pake BPJS harus ada setoran. Harusnya rumah sakit gratis, pendidikan gratis itu berasal dari dana-dana wakaf,” paparnya.
Wakaf tanah pertanian ini, lanjutnya, meneladani contoh yang diberikan oleh Umar bin Khattab. Pada masa hidupnya, sahabat Rasulullah ini mewakafkan semua lahan pertaniannya. Bahkan hasil wakafnya saat ini saja masih mengalir, bertambah besar dan nikmati banyak orang. Pemerintah Arab Saudi pun menampungnya dalam rekening dengan nama Umar Bin Kattab.
Al-Azhar di Kairo saja menggunakan wakaf dan zakat untuk membiaya operasional pendidikannya. Wakaf-wakaf produktif di Al-Azhar sendiri banyak rupanya. Tak heran jika lembaga Pendidikan ini bisa bertahan hingga 10 abad lebih.
“Jadi tidak hanya berbentuk Masjid, tapi juga sektor-sektor yang produktif termasuk rumah sakit sosial ya, dan juga apartemen-apatemen itu juga bisa diwakafkan,” lanjutnya.
Hasilnya sewa dari apartemen yang diwakafkan bisa digunakan misalnya untuk beasiswa S2, S3, mempelajari, membuat pesawat terbang di Jerman, membuat kapal, membuat mobil atau handphone. “Segala macam, supaya bisa memang betul-betul menjadi bangsa yang kuat. Nah itu harusnya dimunculkan dari wakaf. Jadi wakaf kita ini kurang jalan,” ucapnya.
Salah satu hasil wakaf bangunan komersial yang bisa dijadikan contoh adalah Menara 165 di jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan. Gedung bertingkat 25 dengan masjid di lantai tertinggi ini adalah menara bisnis.
Gedung ini memiliki ballroom mewah berkapasitas 2000 orang, hotel, training centre Emotional Spiritual Quotient (ESQ) dan sejumlah unit perkantoran. Pemegang seham terbesarnya adalah kaum yatim dan dhuafa dalam naungan Yayasan Wakaf Bangun Nurani Bangsa.

Wakaf Untuk Infrastruktur
Lebih lanjut, pemanfaatan wakaf masyarakat untuk kegiatan ekonomi demi meningkatkan taraf hidup umat tak terbatas pada wakaf dalam bentuk aset. Wakaf juga bisa diberikan dalam bentuk uang. Bahkan, wakaf dalam bentuk uang ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih luas, yakni untuk pembangunan infrastruktur.
“Ya, kalau wakaf uang, kita kembangkan, maka uangnya itu diinvestasikan untuk infrastruktur, dan hasil dari investasi itu digunakan untuk pemberdayaan orang-orang yang membutuhkan. Untuk beasiswa, fakir miskin, biaya pendidikan, dan lain-lain. Jadi, bisa kemungkinan penggunaan dana wakaf digunakan untuk sektor yang produktif. Tapi ini bukan wakaf aset, melainkan harus dalam bentuk wakaf uang,” katanya.
Alurnya adalah lembaga wakaf mengajak masyarakat untuk memberikan wakaf dalam bentuk dana. Lantas, dana itu oleh lembaga wakaf akan disimpan dalam bank. Bank kemudian menginvestasikannya dalam pembangunan infrastruktur.
Pemanfaatan wakaf dana untuk infrastruktur ini demi menjaga agar dana tetap abadi, sesuai dengan tujuan pengelolaan wakaf. Dengan diinvestasikan secara aman, maka dana yang diwakafkan tidak akan tergerus. Pemanfaatannya pun dapat berlangsung lama dan dinikmati secara luas.
“Tapi kalau kita punya uang, uang itu harus bertambah jangan berkurang, uang itu kan harus dibisniskan. Diputar dalam kegiatan perekonomian. Tentu kita ingin bisnis yang risikonya kecil supaya uang wakaf itu tidak habis. Bisnis yang sangat menguntungkan adalah investasi di infrastruktur. Nanti yang membayarnya itu adalah negara. Marjinnya itu, keuntungannya itu oleh negara,” paparnya.
Pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memang sudah mengeluarkan fatwa tentang wakaf uang. Menurut fatwa MUI wakaf uang (cash wakaf/waqf al-nuqud) hukumnya jawaz (boleh).
Wakaf uang adalah ‘wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai’. Termasuk pengertian uang ini adalah surat-surat berharga. Meskipun diperbolehkan, nilai pokok wakaf uang mesti dijamin kelestarianya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan/atau diwariskan.
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah No. 42 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, serta beberapa aturan lainnya, seperti Keputusan Menteri Agama No. 4/2009 tentang Adminstrasi Pendaftaran Wakaf Uang, juga mengatur pengelolaan wakaf uang.
Menurut Pasal 28 UU No. 41 Tahun 2004, wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh menteri.
Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia Mustafa Edwin Nasution mengingatkan, agar investasi dilakukan tetap sesuai dengan kaidah-kaidah Syariah. Dengan demikian, tidak ada unsur riba di dalamnya.
“Termasuk nanti kalau misalnya diinvestasikan di infrastruktur silahkan saja sepanjang ada ketentuan hukumnya yang menjamin bahwa harta wakaf itu atau uang wakaf yang diinvestasikan itu aman. Dalam arti kata tidak boleh hilang karena salah satu syarat dari wakaf itu dijamin keberadaannya, bahkan kalau perlu abadi, artinya sepanjang masa akhir zaman,” beber Mustafa kepada Validnews
Meskipun wakaf dana dinilai tepat jika diinvestasikan di infrastruktur, Mustafa menjelaskan dana tersebut tetap dapat digunakan untuk kegiatan yang bersifat sosial. Namun, tetap infrastruktur menjadi prioritas.
Pasalnya, keberadaan infrastruktur merupakan urat nadi perekonomian. Jika pembangunan infrastruktur berjalan dengan baik, ujungnya kesejahteraan umat juga akan terangkat.  
“Bahkan bisa untuk menggerakan UMKM. Mereka masalahnya kan kekurangan modal, daripada minjam uang ke bank bayar bunga, pakai saja uang dana wakaf, dengan syarat yang betul (bayarnya) ya,” lanjutnya.
BWI sendiri menilai wakaf uang ini membuka peluang besar bagi penciptaan bisnis investasi, yang hasilnya dapat dimanfaatkan pada bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Wakaf jenis ini lebih bernilai benefit daripada wakaf benda tak bergerak, seperti tanah.
“Jika bangsa ini mampu mengoptimalkan potensi wakaf yang begitu besar itu, tentu kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat lebih terjamin.” Demikian tertulis di laman BWI.
Mustafa mengakui potensi wakaf dana sangat besar di Indonesia. Menurutnya, jika 20 juta penduduk muslim Indonesia saja mewakafkan dananya Rp5.000 – 100.000 perorang dalam satu bulan, dana yang terkumpul bisa sebesar Rp 100 milar sampai Rp 2 triliun per bulan.
“Kemungkinan itu sedemikan luar biasa besarnya bahkan itu merupakan potensi luar biasa untuk menggerakan roda ekonomi ketimbang pendanaan dari utang,” ujarnya.
Seperti diketahui, dalam pembangunan, pembiayaan bisa dihimpun dari berbagai macam sumber. Bebrapa dia nataranya adalah utang, pinjaman, investasi, ataupun wakaf.  “Jadi kalau ditanya potensinya, wakaf Indonesia ini dengan penduduk muslim yang ada sekarang ini saya kira luar biasa,” lanjutnya.
Begitupun Irfan. Menurutnya, potensi wakaf dana ini begitu besar karena banyaknya penduduk muslim di negeri ini. “Potensi wakaf uang ya minimal kita bisa hitunglah, kalo hitung-hitungan BWI ya paling enggak kalau kita kelola dengan baik, itu bisa sampai Rp120 triliun tiap tahun, itu minimal,” ujarnya.
Apalagi, dalam berwakaf, tidak ada ketentuan minimal penghasilan. Siapapun yang hatinya tergerak untuk memberikan wakaf dapat melakukannya. Bahkan, dalam nominal minimal Rp1.000 sekalipun.

Seorang jamaah Masjid Baitul Hikmah melintas di dekat counter wakaf uang yang dikelola oleh Yayasan Baitul Hikmah Elnusa, Jalan TB Simatupang, Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (23/8). Validnews/Faisal Rachman

Sayangnya, tidak banyak masyarakat yang menyadari potensi wakaf dana ini. Sehingga, tak banyak juga yang mau memberikan wakaf dalam bentuk dana. Upaya untuk mengumpulkan dana secara massif pun belum terlihat selama ini, baik secara lokal maupun nasional.
“Karena tidak menyadari. Dan untuk menggerakan hal ini kan harus ada kampanye promosi atau dakwah-dakwah oleh para pemuka agama itu ke masyarakat,” kata Mustafa.
Irfan sendiri menyoroti perlunya edukasi baik kepada masyarakat maupun lembaga wakaf. 
“Kemudian, dari sisi regulasinya harus didorong. Jadi, intinya sih harus negara ini sudah harus mulai lah melirik instrumen instrumen ekonomi syariah ya jadi yang ini saya kira harus kita optimalkan ya wakaf ini,” katanya.
Perlu Pengawasan
Menilik dari besarnya potensi, Agustianto mengingatkan agar pengawasan dana yang diwakafkan masyarakat bisa berjalan dengan baik.
“Dan harusnya pengelola wakaf ini diaudit oleh akuntan publik. Sehingga bisa dipertanggungjawabkan laporan keuangannya. Sebenarnya sudah banyak lembaga-lembaga wakaf yang seharusnya sudah bisa diaudit. Lembaga-lembaga besar, termasuk pesantren-pesantren besar, ormas-ormas besar, yang sudah mengembangkan wakaf produktif,” katanya.
Hal senada juga diucapkan Mustafa. Menurutnya, pengawasan perlu dilakukan agar dana wakaf tak menguap sia-sia. Sekadar mengingatkan, dalam sistem wakaf ini, orang yang menyerahkan hartanya disebut wakif, sedangkan orang yang mengelola wakaf disebut nazhir.
Namun, tugas nazhir tak hanya berhenti pada pengelolaan, ia juga bertugas mengembangkan harta yang diwakafkan sesuai dengan peruntukannya. Pada saat wakif menyerahkan hartanya, ia harus mengucapkan ikrar wakaf baik lisan maupun tertulis mengenai wakaf yang ia lakukan.
Menurut UU no 41 tahun 2004 mengenai perwakafan, ada tiga pihak yang bisa bertugas sebagai nazhir. Kelompok pertama adalah nazhir perorangan.
“Jadi kalau saya mau mewakafkan uang kepada Anda, lalu saya percaya Anda adalah orang bereputasi baik, nih ada uang dikelola ya Rp20 miliar. Anda sudah jadi nazhir perorangan,” ujar Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia Mustafa Edwin Nasution kepada Validnews.
Namun, sifat perorangan ini menyebabkan sulitnya pengawasan. Ujungnya, banyak permasalahan seputar pengelolaan wakaf terjadi. Karena itu, lanjut Mustafa, sebaiknya wakaf diserahkan kepada dua kelompok yang lain yakni nazhir berbadan hukum dan nazhir organisasi.
Nazhir organisasi ini misalkan Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah. Sedangkan, nazhir berbadan hukum misalnya Badan Wakaf Indonesia (BWI), Dompet Dhuafa, atau Tabung Wakaf.
“Kalau perorangan, kalau undang-undang yang sekarang harus orang yang terdaftar, supaya bisa terkontrol juga, legalisasi terjamin, transparansi terjamin, sehingga uang wakaf itu menjadi aman,” paparnya. (Fin Harini, Teodora Nirmala Fau, Faisal Rachman, Mg-Muhammad Fauzi, Mg-Seren Trihardja, Mg-Dianita Catriningrum)
(Sumber : validnews.co)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar